ADAB BERGAUL DI MEDIA
Disadari atau tidak, dunia maya telah melahirkan bentuk komunikasi baru Silaturahmi, beramah tamah, bertegur sapa, menyampaikan pesan, bertukar informasi, dan mcndapatkan teman baru, betapa mudahnya untuk dilakukan. Duduk di depan komputer, terhubung dengan Internet maka seluruh dunia dapat dijangkau hanya dalam sekejap. Bahkan kini, cukup dengan handphone dalam genggaman, semua model komunikasi yang kini tenar dengan nama jejaring sosial atau pertemanan makin menghidupkan dunia modern ini.
Ya memang negara kita memberi hak kepada warganya untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut.
Namun berkomunikasi dalam dunia maya tetap saja ada aturan yang tak bisa disepelekan. Dalam dunia nyata, kita mengenal adab berinteraksi. Menjaga Iisan, menjaga pandangan, dan menjaga perilaku. Begitupun dalam dunia maya. Hal ini perlu diperhatikan karena karakter media online seperti jejaring sosial memang seperti itu, terbuka. Maka bergaul di ranah maya sebagaimana di ranah nyata tetap saja ada rambu-rambunya.
Satu hal yang kadang melalaikan seseorang ketika berinteraksi dalam dunia maya adalah adab.
Sesungguhnya adab-adab berinteraksi dalam dunia nyata berlaku sama ketika kita memasuki dunia maya. Yang membedakan hanya kemudahannya saja. Namun kadang hal itu luput dari kesadaran kita, entah karena lalai, keasyikan, atau memang tidak menyadari pola interaksinya. Sehingga seringkali terjadi, dalam dunia maya pun timbul konflik yang muncul dari buruknya cara berinteraksi. Merasa tidak bertatap muka Iangsung, yang terjadi adalah lepas kendali dalam menuliskan kata-kata.
Seperti dalam salah satu situs jejaring sosial yang kini makin digandrungi, Facebook, orang merasa bebas mengungkapkan isi hati dan berbagi cerita, hingga lupa bahwa bisa jadi ada kesalahpahaman persepsi dalam mengartikan kata-kata.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, kadang orang terlalu gamblang menuangkan kehidupan pribadi dalam situs pertemanannya. Cerita soal pribadi dan kcgiatan sehari-hari di Multiply misalnya. Padahal sebagai seorang Muslim, adab-adab berinteraksi harus dilekatkan di manapun kita berada. Bukan hanya sekadar mensosialisasikan kehidupan pribadi.
Tentu ada norma-norma Islam yang harus dijunjung tinggi ketika berkomunikasi dalam dunia maya. Sebab dunia maya sendiri bukan sekedar dunia di luar realita.
Saat menggunakan fasilitas audio chat misailnya, tetap menjaga ungkapan lisan dan cara bertutur kata menjadi kewajiban walaupun orang yang kita ajak bicara hanya terpampang fotonya saja. Apalagi bila bicara dengan mengaktifkan web Kamera.
Begitu pula kita harus sigap menata hati untuk terus menerus mengingat berada di bawah pongawasan Allah agar bisa torhindar dari pergaulan maya yang melalaikan. Bercanda, saling ejek, saling goda hingga muncul-muncul efek negatif yang tidak diinginkan. Dengan sesama jenis bisa timbal intrik, dengan lawan jenis bisa tumbuh bibit perselingkuhan.
Karenanya perlu diperhatikan juga nahwa walaupun di dunia maya, bukan berarti adab-adab yang berlaku di dalamnya maya pula alias tidak nampak. Adab-adab yang berlaku di dalamnya maya pula alias tidak nampak. Adab-adab pergaulan dalam dalam dunia maya pun harus jelas mencirikan sebagai seorang Muslim yang beradab. Jangan sampai ketika di dunia maya maka adab yang selama ini dijunjung tinggi di kesampingkan. Seperti misalnya, ada kasus-kasus yang melanggar batas pergaulan dalam Islam, terjadinya perselingkuhan, hubungan tanpa status, bahkan sampai berlaku kriminal.
Diperlukan kondisi ruhiyah yang baik.
Mengedepankan adab Islam, inilah salah situ sikap bijak dalam menggunakan akun jejaring pertemanan. Lantas bagaimana adab Islam memanfaatkan jejaring sosial dunia maya ini.
Pertama tentulah dimulai dari niat.
Dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk tujuan apa kita membuka sebuah akun pertemanan? Apakah sekedar iseng, mengikuti tren, atau memang ada nilai lebih yang ingin disampaikan. Kalau hanya sekedar ikut-ikutan dan mengisi “status” dalam facebook yang tidak ada manfaatnya sebaiknya niat itu harus dikembalikan ke jalur yang benar. Karenanya ketika ada orang-orang tertentu yang salah langkah dalam menggunakan jaring pertemanan dunia maya ini, sebenarnya niatnya sudah salah. “Besar kemungkinan niat mereka sewaktu bergabung dengan jaring sosial dunia maya ini belum benar atau berubah di tengah jalan karena keasyikan. Atau bisa jadi akibat cultural lag, keterlambatan budaya. Maka yang timbul adalah masyarakat kita belum bisa memanfaatkan situs jejaring sosial
“Sayang memang, apabila teknologi secanggih ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya hanya dengan rnengindahkan adab pertemanan. Bagaimana pun media bisa diambil manfaatnnya untuk belajar dan mengembangkan inspirasi ilmu. karena ilmu itu terus berkembang.
Secara teoritis perkembangan ilmu pengetahuan selalu mengacu kepada peradaban Yunani. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah mitologi bangsa Yunani, kesusastraan Yunani, dan pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu yang sudah sampai di Timur Kuno. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan di setiap periode ini dikarenakan pola pikir manusia yang mengalami perubahan dari mitos-mitos menjadi lebih rasional. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan alam sebagai objek penelitian dan pengkajian
Kedua, isilah ‘status’ dalam jejaring sosial yang kita ikuti dengan kata-kata yang penuh inspirasi, bukar dengan kata-kata yang tidak jelas.
Saya pun bila merespons komentar teman-teman di jaringan sosial seringkali tidak saya jawab dengan langsung mengemukakan dalil tapi saya uraikan dengan renungan dan refleksi saya sendiri. Dengan begitu dialog akan terasa lebih akrab. Tidak berkesan menggurui tapi lebih berkesan ‘curhat’. Dan satu hal lagi, jawabannya juga tidak perlu panjang-panjang. Setelah lawan bicara menanggapi positif pesan kita baru kita berikan dalil syar'i.
Ketiga, selektif. Selektiflah dalam memilih teman dan dalam berkomentar.
Dalam sebuah hadis Rasululah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman dalam sabda beliau, yang artinya : "Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap." (HR. Bukhari dan Muslim)
Memang, karakter jaringan sosial adalah sangat bebas. Baik buruknya tergantung pemakai. Maka untuk terhindar dari efek negatif maka kita harus memiliki self control yang kuat. Self control yang kuat dapat kita peroleh lewat tarbiyah ruhiyah yang intensif. Dengan tarbiyah ruhiyah, nurani kita akan peka dengan keburukan-keburukan yang mungkin muncul sewaktu kita menggunakan jaring sosial.
Interaksi dalam dunia maya memang mengharuskan memiliki kondisi ruhiyah yang baik. Kondisi ruhiyah yang baik akan mengontrol kita agar menggunakan jaring sosial dengan baik dan efektif.
Ruhiyah yang baik akan melahirkan mata hati yang bersih yang peka dengan keburukan. Kepekaan ini sangat perlu karena dalam jaring sosial batas antara sombong, narsis, atau tidak, sangat tipis. Dan hanya hati yang bersihlah yang mampu mendeteksi dan membedakan apakah tindakan kita wajar atau tidak.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang berjudul ‘Madariju asSalikin dan Miftah Daaru as-Sa’adah’. Pendidikan jiwa di anggap berhasil, jika jiwa seseorang sudah mencapai derajat nafs muthmainnah, yang memiliki tiga ciri pokok yang saling menguatkan satu sama lainnya, yaitu; (1) jiwa yang beriman kepada Allah, (2) jiwa yang sabar, (3) jiwa yang berpasrah diri kepada Allah (tawakal). Melalui proses pendidikan jiwa yang mencakup: landasan teologi, tujuan pendidikan jiwa, kurikulum terpadu/manhaj at-takamul, metode yang tepat dan aplikatif sesuai tahapannya, seperti: tahapan takhliyah, tahapan tahliyah, muhasabah an-nafs, dzikrullah, dan tahqiq ‘ubudiyah. Sehingga dari proses tersebut akan melahirkan sikap ihsan, serta akan menambah kesalehan dalam beribadah, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan alam sekitar. Karena, hakikat dari sikap ihsan itu sendiri adalah menegakkan ‘ubudiyah.
Syaikh Syakib Arsalân (1869 -1946 M), dalam bukunya yang berjudul Limadza Taakhkhara Al-Muslimûn Wa Limâdza Taqaddama Ghairuhum menyebutkan bahwa, di antara penyebab kemunduran umat selain kebodohan (al-jahl), adalah rusaknya akhlak yang ditandai dengan hilangnya sifat-sifat mulia yang dianjurkan al-Qur`an dalam diri umat Islam, di mana akhlak dan sifat-sifat mulia ini merupakan ciri (sîmah) dan sifat salaful ummah yang dengannya mereka mencapai kemuliaan dan kejayaan. Kemunduran umat Islam semakin diperburuk dengan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak bermoral dan rusak akhlaknya. Astagfirullohal adzim.
Sehingga hal tersebut menyebabkan jiwa dan hati mereka menjadi kering dan sakit. Karena menurut Ibn Qayyim keadaan hati dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, hati yang sehat dan selamat yaitu hati yang selalu menerima, mencintai, dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuan tentang kebenaran benar-benar sempurna, selalu taat dan menerima sepenuhnya. Kedua, hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan tidak taat pada kebenaran. Ketiga, hati yang sakit, jika penyakitnya sedang kambuh maka hatinya menjadi keras dan mati, dan jika ia mampu mengalahkan penyakit hatinya, maka hatinya menjadi sehat dan selamat. (Al-Jauziyyah, 2004).
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab Madaariju as-Salikin menyatakan, bahwa fondasi seluruh akhlak yang rendah dan bangunannya berdiri di atas empat rukun, yaitu kebodohan (terhadap ilmu agama), kezaliman, hawa nafsu, dan kemarahan. Sumber dari empat perkara tersebut berasal dari dua macam. Pertama, jiwa yang berlebih-lebihan saat lemah, yang melahirkan kebodohan, kehinaan, bakhil, kikir, celaan, kerakusan dan kekerdilan. Kedua, jiwa yang berlebih-lebihan saat kuat yang melahirkan kezaliman, amarah, kekerasan, kekejian, dan kesewenang-wenangan (Al-Jauziyyah, 1972). Hal tersebut berhati-hatilah jika muncul perilaku para pemimpin dan pejabat yang bermental korup.
Ibnu Qayyim berkata: “Dengan demikian, banyaknya terjadi penyimpangan akhlak pada manusia karena disebabkan pola pendidikannya sewaktu masa pertumbuhannya (waktu kecilnya)” (Al-Jauziyyah, 1972). Pendapat lain juga disampaikan Ahmad Tafsir bahwa, “Kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan selama ini adalah para konseptor pendidikan melupakan keimanan sebagai inti kurikulum nasional. Sehingga hal tersebut berimplikasi pada terkikisnya iman seseorang dan rendahnya moral umat manusia, serta jiwanya kering dari kesadaran akan kewajiban ibadah.
Pada hakikatnya setiap jiwa manusia memiliki fitrah atau naluri untuk beragama yang lurus ( agama tauhid). Hal ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya: “Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dalam keadaan fitrah. Maka, kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna”(HR. Bukhari). Adapun terjadinya perilaku baik dan buruk seseorang tergantung dari usaha dan pendidikannya.
Menurut Ibnu Qayyim, manusia memiliki gharizah (insting) atau naluri yang dapat berkembang sesuai pertumbuhannya, serta dapat memberikan pengaruh dalam perkataan yang baik dan bermanfaat atau ucapan yang sia-sia tiada berguna. Al-gharizah ini oleh Ibnu Qayyim dinamakan dengan ‘Awaridhu an-Nafsiyyah (gejolak-gejolak kejiwaan), sebab di dalamnya terdapat tabiat/perangai manusia. (Al-Jauziyyah, 1994). Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berpendapat, bahwa tujuan pendidikan secara umum adalah menjaga fitrah manusia dan mencegahnya dari penyimpangan dan kesesatan. Di samping itu juga untuk menanamkan akhlak mulia dan menepis akhlak buruk, untuk menggali potensi dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan menjadikan segala aktivitasnya sebagai ibadah.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan material emosional dibutuhkan kurikulum yang bersifat empiris rasionalis (‘aqliyah), sehingga dapat memperkuat keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Mengatur alam semesta, Yang Menciptakan, dan Yang Kuasa atas segala sesuatu.
Untuk menggapai jiwa yang tenang (An-nafs Al-muthma’innah) tersebut dari dalam diri manusia, maka dibutuhkan suatu metode yang tepat dan aplikatif, yang diringkas dalam beberapa tahapan berikut:
1. Tahapan Takhliyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, makna ‘takhliyah’ adalah “Sebuah proses mengosongkan jiwa dari segala ajakan hawa nafsu dari segala kecenderungan yang dapat menjatuhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah. Seperti dalam masalah dzatiyat, keyakinan dan keinginan-keinginan nafsu. Jika hati dipenuhi oleh cinta dan keyakinan yang batil, maka tidak ada tempat lagi bagi keyakinan yang benar (Al-haq) dalam hatinya” (Al-Jauziyyah, 1973). Termasuk di dalamnya menuruti nafsu syahwat; yakni syahwat birahi dan syahwat kekuasaan.
2. Tahapan Tahliyah Ibnu Qayyim mengatakan “Tahliyah ialah istilah dari suatu aktivitas internal dengan menghiasi perhiasan (sifat terpuji) di dalamnya” (Al-Jauziyyah, 1996). Maksudnya adalah kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk telah ditinggalkan dan diganti dengan amalan saleh dan kebisaan-kebiasaan baru yang lebih baik, sehingga tercipta pula akhlak dan kepribadian yang baru.
3. Muhasabah An-Nafs Menurut Ibnu Qayyim yang dimaksud dengan muhasabah adalah Muhasabah adalah sikap konsisten dalam menjaga tobat sehingga tidak lepas dan tetap loyal dengan ikatan tobat tersebut.(Al-Jauziyyah, 1972).
Berkenaan dengan hal ini, sahabat Umar bin Khattab RadhiaAllahu ‘Anhu berkata, “Hisablah diri kalian sebelum diri Anda dihisab, timbanglah (amal) kalian sebelum amal kalian ditimbang. Karena kalian akan lebih mudah (menghadapi) hisab kelak, jika sekarang kalian menghisab diri kalian, dan berhiaslah kalian untuk (hari) menghadap paling agung.” . (Al-Jauziyyah, 1972).
Al-Hasan berkata, “Sesungguhnya seorang hamba masih akan tetap baik selama dia memiliki penasihat dari dalam dirinya sendiri, serta menjadikan muhasabah sebagai capaiannya.” (Al-Jauziyyah, 1975)
Komentar
Posting Komentar